K
|
ANJENG NYAI RATU KIDUL
Kanjeng Ratu Kidul pada mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu Mundhingsari, dari istrinya yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Saranadi, cicit Raja siluman di Sigaluh.
Sang putri melarikan diri dari keraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri wadat (tidak bersuami) dan menjadi ratu diantara makhluk halus seluruh pulau jawa. Istananya didasar samudra indonesia. Tidaklah mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari makhluk halus.
Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu mendapat julukan Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari. Ada juga sementara orang yang menyebut Nyai Lara Kidul (di keraton surakarta sebutan Nyai Lara Kidul adalah untuk patihnya, bukan untuk Kanjeng Ratu Kidul sendiri). Malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata “Lara” berasal dari “Rara”, yang berarti perawan (tidak kawin).
Dikisahkan, bahwa Dewi Retna Suwida yang cantiknya tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Utuk mengobatinya harus mandi dan merendam diri didalam suatu telaga, di pinggir samudra. Konon pada suatu hari, tatkala akan membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut karena melihat mukanya yang sudah rusak, sang putri lalu terjun kelaut dan tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi makhluk halus.
Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada yang menamakannya Kanjeng Ratu Angin-angin. Sepanjang penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjadi ratu makhluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir pantai selatan, mulai darah Jogjakarta sampai dengan Banyuwangi.
Camat desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudra selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur didalam rumah kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang datang.
Mr Welter, seorang warga belanda yang dahulu menjadi Wakil ketua Raad van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolir di Kepanjen, pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, salah satu pesisir pantai selatan, Jawa timur, yang khusus diadakan untuk Nyai rara kidul. Ditunjukkannya gambar sebuah rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai Rara Kidul.
Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan latihan didaerah ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur ngliyep memang masih terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sekarang. Apakah rumah ini terlukis gambar Tuan Welter, belumlah dapat dipastikan.
Pengalaman seorang kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tajun 1955 pernah ada serombongan oran-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan keramat) dipulau karang kecil, sebelah timur Ngliyep.
Seorang diantara mereka adalah gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi disitu. Apa yang kemudian terjadi ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa asalnya. Yang dapat diceritakannya ialah bahwa ia merasa melihat sebuah rumah emas yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.
Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.
Nyai Roro Kidul dan Perbedaan dengan Ratu Kidul
Penguasa Laut Selatan yang selama ini dimaksud, bukanlah Nyi Roro Kidul tetapi Ibu Kanjeng Ratu Kidul. Status dari Kanjeng Ratu Kidul adalah merupakan Raja/Penguasa di laut selatan, sedangkan Nyi Roro Kidul adalah Patih nya dan selama ini bencana dan mara bahaya adalah ulah dari kenakalan Nyi roro Kidul, tapi selama ini dianggap Penguasa Laut Selatan yang bikin ulah (seolah-olah seorang pembantu menyalahgunakan nama tuannya)-(atau anak bikin ulah bapak yang namanya tercoreng.). Maka Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul adalah dua pribadi yang berbeda. Di Jawa Barat, Penguasa Laut Selatan adalah seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Dewi Kandita. Karena sesuatu hal, putri cantik ini meninggalkan keraton kemudian bertapa di Laut Selatan. Cerita versi Jogyakarta lain lagi. Penguasa Laut Selatan, yang dikenal sebagai Ratu Kidul adalah Dewi Retno Dumilah, seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperisteri Panembahan Senopati, penguasa Kerajaan Mataram pertama.
Menurut Ki Sidikpermana, bila akan menemui tamu berbusana peranakan, Kanjeng Ratu Kidul muncul dengan mengenakan busana lengkap sebagai seorang Ratu. Dikawal abdidalem Palawija. Tapi bila menemui tamu berpakaian biasa, Kanjeng Ratu Kidul mengenakan busana serba putih seperti rukuh dan tak dikawal.
KEPERCAYAAN masyarakat terhadap Penguasa Laut Selatan sampai sekarang masih ada. Tapi ada beberapa versi menyangkut legenda itu. Di Jawa Barat, Penguasa Laut Selatan adalah seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Dewi Kandita. Karena sesuatu hal, putri cantik ini meninggalkan keraton kemudian bertapa di Laut Selatan.
Cerita versi Jogyakarta lain lagi. Penguasa Laut Selatan, yang dikenal sebagai Ratu Kidul adalah Dewi Retno Dumilah, seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperi seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperisteri Panembahan Senopati, penguasa Kerajaan Mataram pertama.Dari hasil perkawinannya melahirkan dua orang putera yakni Raden Rangga dan Puteri Pembayun. Raden Rangga dikenal sakti mandraguna, tapi memiliki watak ugal-ugalan. Sementara Puteri Pembayun dijodohkan dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Namun, perkawinan itu hanya sebagai rekayasa untuk menundukkan Ki Ageng Mangir yang mbalela (membangkang) terhadap Mataram. Malah dituduh akan melakukan agresi segala. Laut Selatan yang berada di wilayah Jogjakarta meliputi Parangtritis dan Parangkusumo. Hingga sekarang masih dipercaya sebagai sebuah keraton kajiman. Sebagai penguasa keraton tersebut adalah Kanjeng Ratu Kidul, yang tidak lain Dewi Retno Dumilah.Dalam kehidupan sehari-hari di keraton, Kanjeng Ratu Kidul memiliki seorang abdidalem keparak puteri yaitu Mbok Loro Kidul. Dikenal sebagai salah seorang abdidalem yang sangat disayangi. Bila seseorang ingin ber makrifat tentang keberadaan Kanjeng Ratu Kidul, dapat dilakukan dengan cara laku spiritual.
Kanjeng Ratu Kidul pada mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu Mundhingsari, dari istrinya yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Saranadi, cicit Raja siluman di Sigaluh.
Sang putri melarikan diri dari keraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri wadat (tidak bersuami) dan menjadi ratu diantara makhluk halus seluruh pulau jawa. Istananya didasar samudra indonesia. Tidaklah mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari makhluk halus.
Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu mendapat julukan Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari. Ada juga sementara orang yang menyebut Nyai Lara Kidul (di keraton surakarta sebutan Nyai Lara Kidul adalah untuk patihnya, bukan untuk Kanjeng Ratu Kidul sendiri). Malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata “Lara” berasal dari “Rara”, yang berarti perawan (tidak kawin).
Dikisahkan, bahwa Dewi Retna Suwida yang cantiknya tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Utuk mengobatinya harus mandi dan merendam diri didalam suatu telaga, di pinggir samudra. Konon pada suatu hari, tatkala akan membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut karena melihat mukanya yang sudah rusak, sang putri lalu terjun kelaut dan tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi makhluk halus.
Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada yang menamakannya Kanjeng Ratu Angin-angin. Sepanjang penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjadi ratu makhluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir pantai selatan, mulai darah Jogjakarta sampai dengan Banyuwangi.
Camat desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudra selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur didalam rumah kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang datang.
Mr Welter, seorang warga belanda yang dahulu menjadi Wakil ketua Raad van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolir di Kepanjen, pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, salah satu pesisir pantai selatan, Jawa timur, yang khusus diadakan untuk Nyai rara kidul. Ditunjukkannya gambar sebuah rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai Rara Kidul.
Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan latihan didaerah ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur ngliyep memang masih terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sekarang. Apakah rumah ini terlukis gambar Tuan Welter, belumlah dapat dipastikan.
Pengalaman seorang kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tajun 1955 pernah ada serombongan oran-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan keramat) dipulau karang kecil, sebelah timur Ngliyep.
Seorang diantara mereka adalah gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi disitu. Apa yang kemudian terjadi ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa asalnya. Yang dapat diceritakannya ialah bahwa ia merasa melihat sebuah rumah emas yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.
Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.
Nyai Roro Kidul dan Perbedaan dengan Ratu Kidul
Penguasa Laut Selatan yang selama ini dimaksud, bukanlah Nyi Roro Kidul tetapi Ibu Kanjeng Ratu Kidul. Status dari Kanjeng Ratu Kidul adalah merupakan Raja/Penguasa di laut selatan, sedangkan Nyi Roro Kidul adalah Patih nya dan selama ini bencana dan mara bahaya adalah ulah dari kenakalan Nyi roro Kidul, tapi selama ini dianggap Penguasa Laut Selatan yang bikin ulah (seolah-olah seorang pembantu menyalahgunakan nama tuannya)-(atau anak bikin ulah bapak yang namanya tercoreng.). Maka Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul adalah dua pribadi yang berbeda. Di Jawa Barat, Penguasa Laut Selatan adalah seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Dewi Kandita. Karena sesuatu hal, putri cantik ini meninggalkan keraton kemudian bertapa di Laut Selatan. Cerita versi Jogyakarta lain lagi. Penguasa Laut Selatan, yang dikenal sebagai Ratu Kidul adalah Dewi Retno Dumilah, seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperisteri Panembahan Senopati, penguasa Kerajaan Mataram pertama.
Menurut Ki Sidikpermana, bila akan menemui tamu berbusana peranakan, Kanjeng Ratu Kidul muncul dengan mengenakan busana lengkap sebagai seorang Ratu. Dikawal abdidalem Palawija. Tapi bila menemui tamu berpakaian biasa, Kanjeng Ratu Kidul mengenakan busana serba putih seperti rukuh dan tak dikawal.
KEPERCAYAAN masyarakat terhadap Penguasa Laut Selatan sampai sekarang masih ada. Tapi ada beberapa versi menyangkut legenda itu. Di Jawa Barat, Penguasa Laut Selatan adalah seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Dewi Kandita. Karena sesuatu hal, putri cantik ini meninggalkan keraton kemudian bertapa di Laut Selatan.
Cerita versi Jogyakarta lain lagi. Penguasa Laut Selatan, yang dikenal sebagai Ratu Kidul adalah Dewi Retno Dumilah, seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperi seorang puteri Adipati Madiun yang kemudian diperisteri Panembahan Senopati, penguasa Kerajaan Mataram pertama.Dari hasil perkawinannya melahirkan dua orang putera yakni Raden Rangga dan Puteri Pembayun. Raden Rangga dikenal sakti mandraguna, tapi memiliki watak ugal-ugalan. Sementara Puteri Pembayun dijodohkan dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Namun, perkawinan itu hanya sebagai rekayasa untuk menundukkan Ki Ageng Mangir yang mbalela (membangkang) terhadap Mataram. Malah dituduh akan melakukan agresi segala. Laut Selatan yang berada di wilayah Jogjakarta meliputi Parangtritis dan Parangkusumo. Hingga sekarang masih dipercaya sebagai sebuah keraton kajiman. Sebagai penguasa keraton tersebut adalah Kanjeng Ratu Kidul, yang tidak lain Dewi Retno Dumilah.Dalam kehidupan sehari-hari di keraton, Kanjeng Ratu Kidul memiliki seorang abdidalem keparak puteri yaitu Mbok Loro Kidul. Dikenal sebagai salah seorang abdidalem yang sangat disayangi. Bila seseorang ingin ber makrifat tentang keberadaan Kanjeng Ratu Kidul, dapat dilakukan dengan cara laku spiritual.
T
|
angkuban
Perahu
Dahulu kala, tersebut lah sorang
putri cantik anak dari seorang raja bernama Sungging Perbangkara dari sebuah
kerajaan besar di jawa barat. Putri tersebut bernama Dayang Sumbi. Kecantikan
Dayang Sumbi memang tidak terbantahkan. Banyak raja-raja dari kerajaan berperang
hanya untuk menjadikan Dayang Sumbi sebagai istrinya. Merasa dirinya adalah
sumber peperangan, akhirnya Dayang Sumbi memutuskan untuk pergi ke hutan dan
hidup di sana.
Suatu ketika, ketika Dayang Sumbi sedang bertenun, pintalan benang yang dia gunakan jatuh. Karena malas mengambil pintalan benang tersebut, dia berkata "Siapa yang bisa mengambilkan pintalan benang tersebut, dia akan menjadi suami ku." Tiba-tiba seekor anjing mengambil pintalan benang tersebut dan memberikannya ke Dayang Sumbi. Anjing tersebut bernama Tumang. Anjing tersbut bukan ajing biasa, konon dia adalah keturunan Dewa. Karena telah berjanji, akhirnya Dayang Sumbi menjadikan Tumang sebagai suaminya dan dari pernikahannya mereka dikaruniahi seroang anak bernama Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda berparas tampan, gagah perkasa dan sakti. Semasa hidupnya, dia selalu ditemani oleh Tumang yang dianggapnya hanya seekor anjing yang setia, bukan ayahnya. Suatu ketika, Sangkuriang dimintau untuk berburu dengan Tumang oleh ibunya, Dayang Sumbi.
“Bu, saya akan membawakan sebuah hati rusa untuk mu” janji Sangkuriang.
“Huff…huff” gonggong Tumang.
"Baiklah nak, hati-hati ya." Dayang Sumbi berkata.
Suatu ketika, ketika Dayang Sumbi sedang bertenun, pintalan benang yang dia gunakan jatuh. Karena malas mengambil pintalan benang tersebut, dia berkata "Siapa yang bisa mengambilkan pintalan benang tersebut, dia akan menjadi suami ku." Tiba-tiba seekor anjing mengambil pintalan benang tersebut dan memberikannya ke Dayang Sumbi. Anjing tersebut bernama Tumang. Anjing tersbut bukan ajing biasa, konon dia adalah keturunan Dewa. Karena telah berjanji, akhirnya Dayang Sumbi menjadikan Tumang sebagai suaminya dan dari pernikahannya mereka dikaruniahi seroang anak bernama Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda berparas tampan, gagah perkasa dan sakti. Semasa hidupnya, dia selalu ditemani oleh Tumang yang dianggapnya hanya seekor anjing yang setia, bukan ayahnya. Suatu ketika, Sangkuriang dimintau untuk berburu dengan Tumang oleh ibunya, Dayang Sumbi.
“Bu, saya akan membawakan sebuah hati rusa untuk mu” janji Sangkuriang.
“Huff…huff” gonggong Tumang.
"Baiklah nak, hati-hati ya." Dayang Sumbi berkata.
Sangkuriang dan Tumang mulai berburu seekor rusa. Setelah berburu seharian tanpa hasil, Sangkuriang kawatir akan membuat ibunya kecewa. Berpikir singkat, dia mengambil panahnya dan menembakannya ke arah Tumang dan mengambil hatinya kemudian membawanya pulang untuk diberikan ke pada ibunya.
Di rumah Sangkuriang memberikan hati tersebut kepada ibunya. Tetapi Dayang Sumbi menyadari bahwa itu bukan lah hati rusa tetapi hati anjing, Tumang. Dia marah dan memukul Sangkuriang dengan sendok di kepalanya.
Kemudian Sangkuriang berkeliling ke seluruh penjuru dunia hingga dia kembali tiba di desanya tanpa disadari nya. Di sana dia bertemu seorang wanita cantik yang sebenarnya adalah ibunya.
Sangkuriang dan wanita cantik itu saling jatuh cinta satu sama lain dan mereka memutuskan untuk menikah.
Tetapi Dayang Sumbi kemudian menyadari bahwa lelaki yang dia cintai adalah anaknya. Dia melihat ada bekas luka yang ada di kepala Sangkuriang. Untuk mengurungkan niat Sangkuriang menikahi nya, Dayang Sumbi kemudian meminta dua hal mustahil sebagai syarat pernikahannya.
“Jika kamu ingin menikahi ku, buatlah sebuah danau yang dan sebuah perahu sangat besar dalam satu malam” pinta Dayang Sumbi.
“Siap, jika kamu menginginkanya. Akan ku berikan apa yang kau minta.” Sangkuriang setuju.
Dengan kekuatannya yang sakti dan dengan bantuan makhluk halus, ke dua permintaan tersebut pun dirasa bisa terlaksana dalam satu malam. Sangkuriang pun membuat sebuah danau dengan membendung sungai citarum dan membuat sebuah perahu. Kawatir Sangkuriang akan menyelesaikanya, Dayng Sumbi berdoa kepada Tuhan agar membantunya untuk mengagalkan niat Sangkuriang. Tiba-tiba cahaya horizon dari timur muncul dan pagi pun datang.
Berpikir bahwa usahanya siasia. Dengan marah dia menendang perahu tersebut sehingga terbalik. Kemudia perhau tersebut menjadi sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban berarti terbalik dan Perahu berarti perahu.
B
|
atu Menangis
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia,
hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama
Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak
ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak
meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,
ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.
Sementara
putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus
dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya
bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu
hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk
mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari
nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.
”Nak! Ayo
bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.
”Tidak, Bu!
Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,”
jawab Darmi menolak.
”Apakah kamu
tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.
”Tidak! Ibu
saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki
yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.
Mendegar
jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan
sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja
tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya
pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk
dibelikan alat-alat kecantikan.
”Bu! Mana
uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.
”Jangan,
Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.
”Tapi, Bu!
Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.
”Kamu memang
anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja,” kata
sang Ibu kesal.
Meskipun
marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya,
ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang
diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian
terjadi hampir setiap hari.
Pada suatu
hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat
kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian
ibunya mengajaknya ikut ke pasar.
”Kalau
begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.
”Aku tidak
mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.
”Tapi, Ibu
tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya.
Namun
setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.
”Aku mau
ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata
Darmi kepada Ibunya.
”Memang
kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.
”Aku malu
kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.
”Kenapa
harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.
”Ibu
seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat
kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan
nada merendahkan Ibunya.
Walaupun
sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah
mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya
mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan
anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan
keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus,
sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan
penuh tambalan.
Di tengah
perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.
”Hei, Darmi!
Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.
”Ke pasar!”
jawab Darmi dengan pelan.
”Lalu, siapa
orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk
orang tua yang membawa keranjang.
”Tentu saja
bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.
Laksana
disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam
sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan
menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan
seseorang.
”Hei, Darmi!
Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.
”Hendak ke
pasar,” jawab Darmi singkat.
”Siapa yang
di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.
”Dia
pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Jawaban yang
dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih
kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam
perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir
jalan.
”Bu! Kenapa
berhenti?” tanya Darmi heran.
Beberapa
kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya.
Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan
kedua tangannya ke atas.
”Hei, Ibu
sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.
Sang Ibu
tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar
menghukum anaknya yang durhaka itu.
”Ya, Tuhan!
Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi
sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!”
doa sang Ibu.
Beberapa
saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan
suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan,
kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.
”Ibu...!
Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.
”Maafkan
Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi
semakin panik.
Namun, apa
hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi
dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan
itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa
menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah
menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua
orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak
berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi
telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan
bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu
Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat
kita saksikan hingga sekarang.
G
|
unung Maninjau
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang
amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang
luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur
dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang
ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami
berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki
Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan
lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang
Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua,
Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak.
Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti
Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal,
sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua
keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan
kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan
pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil
bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih
hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama
Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai
seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki
tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya,
termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari
sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka
keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula
Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran
berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling
berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama
menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati
berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati
lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam
hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian
pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia
benar-benar merasa bahagiakarena
cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada
mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena
khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani
pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan
kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali
berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan
bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil
yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan
seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu
ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara
tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada
panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian
dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di
sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya
masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda
acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang
lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah
arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan
itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil
mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke
arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang
mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si
Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran
dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban.
Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun
semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan
jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan
jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan
menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah
tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi
menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling
di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun
tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang
tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena
merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya
dalam hati.
Beberapa bulan kemudian,
dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu
bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan
sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah
Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari
mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan
Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih
mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini
baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk
Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga
kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,”
ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami
merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang
baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa
Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu
sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau
perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan
tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di
gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki
kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam
gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang
banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,”
kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana
keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan
tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya
tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang.
Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan
kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah
nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat
peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah
tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat
kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan
salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam
hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi
karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau
menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani
adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata
Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami
berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk
Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua
pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu.
Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak
kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk
termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si
Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu
berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun
sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai,
untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua
keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat
benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum
juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat
duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan
mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan
meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu
mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik
pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa
warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya
benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik
mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah
Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati
luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha
adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian
harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang
persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya
memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang
dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan
pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa
keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan
mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya,
keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar
dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar
Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung
Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata
mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi
kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan
terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil
berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang
benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang
panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan
kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam
kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang
menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran
benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan
binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat
berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras.
Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke
perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha
untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau
semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat.
Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
M
|
alin Kundang
Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga
nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah,
ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi
keuangan keluarga yang memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari
nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Maka tinggallah
si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan
bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung
halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari
nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya.
Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tibatiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.
Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak.
Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya.
Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tibatiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.
Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak.
Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
T
|
imun Mas
Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang
bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok
Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak,
agar bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan
untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang
sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau
mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni.
“Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia
untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak
mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa. Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas. Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar. Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar